Tidak
benar kata Saudara Charles Darwin di sini bahwa kasus teror kepada Bunda
Khadijah (BK) merupakan kejahatan sepele. Dengan nada meremehkan dan sarkastik,
Saudara Charles Darwin mengatakan kepolisian akan ngakak dan cuek menerima
laporan kasus ini. Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di dunia maya
(dunmay) merupakan kejahatan berat. Buktinya, ancaman pidana dalam Pasal 27
ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) mencapai 6 (enam) tahun dan denda maksimal Rp.1 miliar. Dengan ancaman
pidana demikian maka pelakunya dapat ditahan.
Apalagi
dalam kasus teror terhadap BK. Teror melalui pesan tersebut sifatnya mengumbar
kecabulan, serangan secara seksual dalam pengertian tertulis, penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik sekaligus. Yang mengakibatkan trauma psikologis. Karena
itu, selain dapat dijerat dengan UU ITE, kasus teror terhadap BK juga dapat
dijerat dengan KUHP dan UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Materi tulisan
cabul dan eksploitasi seksual termasuk kategori pornografi dengan ancaman
pidana minimal 6 bulan dan maksimal 12 tahun dan/atau pidana denda hingga Rp.6
miliar.
Berbeda
halnya dengan pidana ringan yang kategori ancaman pasalnya dibawah satu tahun.
Pada pidana ringan demikian tersangka tidak dapat ditahan. Dahulu, sebelum
berlakunya UU ITE, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam KUHP memang
bukan kejahatan berat. Hanya diancam pidana sembilan bulan saja dan karenanya
tersangkanya tidak dapat ditahan. Sekarang berbeda. Berdasarkan UU ITE,
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui dunia maya merupakan kejahatan
cukup berat. Salah satu rasionalnya karena dampaknya lebih berat dan
penyebarannya jauh lebih cepat di abad informasi ini.
Dalam
konteks penanganan laporan di kepolisian, jangankan pada kategori kejahatan,
pada kategori pelanggaran (ringan) saja, kepolisian tidak bisa berkutik kecuali
menindaklanjuti laporan jika laporan tersebut memiliki bukit permulaan yang
cukup. Jika tidak maka kepolisian bisa terancam diperkarakan baik secara etika
di propam maupun secara keperdataan termasuk praperadilan jika menghentikan
penyidikan tanpa alasan yang kuat.
Dalam
kasus BK, bukti permulaan itu sudah cukup, meliputi data/informasi elektronik
ditambah dengan laporan yang ada. Pendalaman pembuktian lebih lanjut menjadi
tugas negara cq. aparat kepolisian yang berwenang. Untuk menelusuri subjek
hukum atau person pelaku tidak harus satu jalan dengan mengetahui IP Address
saja. Melainkan juga dapat dengan semacam “petunjuk”: persesuaian keterangan
saksi-saksi, komentar, postingan artikel, pesan inbox. Untuk mengungkap ini
tidak sulit. Karena pelaku pesan teror tersebut sudah pasti 100% oknum
Kompasianer, baik baru jadi anggota maupun anggota lama, namun dalam hal ini
diduga kuat adalah anggota lama.
Tarok
kata ada 160 ribu Kompasianer. Maka, calon tersangkanya, setelah dilakukan
investigasi, paling-paling bisa dihitung dengan lima jari tangan. Nah, tinggal
dipanggil saja lima orang tersebut untuk didengar kesaksiannya. Jika kuat
dugaan keterlibatan maka ybs akan “naik pangkat” jadi tersangka. Bagaimana
mengetahui identitas persis mereka calon tersangka ini? Ya, dengan investigasi
dan persesuaian “petunjuk” tadi. Orangnya akan mengerucut pada identitas yang
jelas. Selanjutnya tinggal dikejar di mana yang bersangkutan tinggal, apakah di
dalam negeri atau diluar negeri.
Di
negara-negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia biasanya
berlaku asas resiprokal. Menurut asas ini, kedua negara saling membantu timbal
balik dalam proses hukum terhadap warga negaranya atau ex warga negara yang
melakukan kejahatan dan menimbulkan akibat hukum di Indonesia atau bagi
kepentingan Indonesia di negara satu sama lain. Cukup tersangka dipanggil saja
oleh aparat hukum negara setempat maka ybs akan mendapatkan rangkaian kesulitan
yang diperkirakan cukup signifikan, baik bagi diri pribadi ybs maupun pekerjaan
dan keluarganya. Setidaknya ybs akan mendapat sanksi sosial. Apalagi jika
proses hukumnya benar-benar ditindaklanjuti.
Akan
menjadi batu ujian bagi aparat penegak hukum di Indonesia, apakah Pasal 27 ayat
(3) UU ITE hanya berlaku pada orang tidak bersalah seperti Prita Mulyasari
ataukah berlaku pada sosok yang asli meneror dengan menggunakan sarana
elektronik di dunia maya. Kita tahu, kasus pertama yang heboh dari penerapan
Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah kasus Prita Mulyasari vs Rumah Sakit Omni. Kali
ini, andai kasus BK ini berlanjut, kepolisian akan kembali mendapat tantangan
dalam penegakan hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar